“Kita cinta damai, tetapi kita lebih cinta KEMERDEKAAN.”-Ir. Soekarno
Kalimat yang berasal dari
pidato Bung Karno saat peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan INDONESIA tahun
1946, di mana INDONESIA baru satu tahun merdeka, menggertak bangsa dengan satu kalimat, Merdeka.
Kemerdekaan yang bukan semata-mata secara normatif dan fiktif, namun
kemerdekaan akan semua aspek kehidupan bangsa ini, bangsa INDONESIA. Tanah air
kita yang luas menghampar, dengan ribuan pulau, ratusan juta manusia, dan
berbagai jenis sumber daya, laksana zamrud di permukaan bumi. Tetapi mengapa INDONESIA
yang katanya “negara berkembang”, masih belum berkembang-kembang juga? Tidak
akan jauh dari kata sakral, Nasionalisme.
Hanya satu kata yang
simpel, namun bukan sekedar simbol belaka. Bangsa ini seakan kehilangan
nasionalismenya setelah “perang” kemerdekaan berakhir. KITA, sebagai bangsa INDONESIA
terasa bersemangat untuk menikmati kemerdekaan ini. Dan memang INDONESIA telah
merdeka secara de facto dan de jure, tetapi secara aspek kehidupan
bangsa, kita masih terjajah. Bahkan karakter bangsa –sebagai esensi dari
bangsa, sekarang ini ikut terjajah dan terbuang, hilang entah ke mana. Padahal
karakter adalah dasar dari nasionalisme, dan nasionalisme adalah kekuatan besar
untuk memajukan bangsa ini.
Berbicara nasionalisme,
kata ini bukan sekedar kata normatif yang menghiasi telinga ketika upacara
bendera, atau ketika mengikuti suatu program kepemimpinan. Tetapi nasionalisme merupakan
suatu paradigma yang harus diresapi sepenuh hati oleh seluruh bangsa INDONESIA,
dan tidak hanya diresapi, namun harus diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Seorang manusia INDONESIA, tidak hanya sekedar tahu apa itu makna
nasionalisme, tetapi mewujudkan langkah-langkah nasionalisnya sebagai bangsa INDONESIA.
Perwujudan yang tidak sekedar janji palsu, tetapi bukti nyata yang bangsa
INDONESIA bisa merasakan manfaatnya.
Nasionalisme tidak mengenal
tempat, waktu, atau keadaan-keadaan lain, namun nasionalisme harus selalu
terimplementasi dalam setiap langkah kehidupan kita. Kita, sebagai bangsa INDONESIA
seharusnya malu kepada diri sendiri apabila kita telah puas akan hasil
perjuangan para pahlawan dulu –baca kemerdekaan. Kita juga tidak patut hidup dengan
bersenang-senang dan hedonis padahal dahulu pahlawan telah berjuang sampai
berani mengorbankan nyawanya demi kemerdekaan INDONESIA. Namun kenyataan saat
ini sungguh sangat ironis dengan sejarah masa lalu, melayangkan sebuah tamparan
besar terhadap era reformasi ini –yang katanya INDONESIA akan semakin maju.
Nasionalisme ditransformasikan
dari hal kecil menuju hal yang besar, menuju waktu yang semakin habis ditelan
zaman. Bangsa ini yang cenderung hidup berlebih-lebihan atau kekurang-kurangan,
mengindikasikan ketidakseimbangan dalam kehidupannya. Sebuah evolusi yang mampu
mengubah secara transformatif dan berkesinambungan diperlukan untuk INDONESIA.
Melalui sebuah quote, “hidup boleh
sederhana, namun pikiran tidak boleh sederhana.”, bangsa ini perlu kontribusi
yang nyata, dengan komitmen yang tegas, dan konsisten bagi yang menjalankan
–baca, kita semua, sehingga tercapainya suatu keseimbangan , yaitu antara
Nasionalisme dan karakter bangsa.
Abad 21 mungkin
dianggap sebagai abad globalisasi, saatnya bangsa ini mempertahankan
karakternya. Nasionalisme bukan sekedar langkah konkrit pengabdian, namun
nasionalisme juga adalah sikap yang harus terbawa sampai mati. Ibarat manusia
punya indera, maka indera keenam kita adalah nasionalisme. Akan kita bawa terus
dan kita manfaatkan, kita pelihara dengan selalu mengamalkannya dalam kehidupan
kita.
“Hilangkan eksistensi,
terapkan komitmen, kontribusi, dan konsistensi bagi ibu pertiwi.”
Hafif Dafiqurrohman
Teknik Mesin/Fakultas Teknik UI
Peserta UI Student Development
Program 2012
0 comments:
Post a Comment