Sunday, May 13, 2012

Bangsa, Dimaknai Atau Dihargai?

"Karakter membangun Bangsa, atau Bangsa membangun Karakter?"
Sebuah kata yang terngiang dengan saksama dan seringkali menghiasi berbagai konteks-konteks masyarakat. Bangsa, muncul dari berbagai macam perspektif dan kondisi. Menerjang keadaan yang fluktuatif menjadi tak karuan, ataukah menjadikan suatu karakter sebagai asas moralnya. Bangsa, menurut John C. Maxwell, sebanding dengan keadaan negaranya "negara akan sepantasnya bangsanya", menyerukan kepada kita semua sebagai kesatuan dari Indonesia. Indonesia tidak akan berkembang apabila niat untuk maju saja tidak ada. Apalagi ada usaha untuk maju, jadi pertanyaannya bagaimana kita bisa mewujudkan Indonesia yang maju? Sebuah paradigma negara berkembang yang terus disuarakan pemerintah adalah sebuah pembodohan publik. Seharusnya bangsa ini jangan diberi sugesti simbolik sebagai negara berkembang terus menerus, apabila secara pembangunan karakternya masih biasa-biasa saja, atau negara ini sudah bingung dengan racun globalisasi. Masihkah kita terlena dengan nafsu Demokrasi yang dibumbui semangat Reformasi. Sudahkah bangsa ini memaknai dirinya sendiri sebagai kesatuan bangsa Indonesia, ataukah meraka menghargai dirinya sebagai salah satu bagian bangsa Indonesia.
Menimbang berbagai keadaan bangsa ini yang tidak menentu, mentasbihkan diri sebagai bangsa dengan sumber daya besar, namun net importir minyak bumi, membuat sebagian kesatuan bangsa menjadi semakin tidak percaya dengan kehidupan politik. Padahal politik adalah suatu alat untuk membangun kehidupan sosial secara luas dan meyeluruh, dan di bawah sosial itu sendiri, terdapat aspek-aspek pembangunan yang lain, seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, sumber daya, dan akan berhubungan dengan individu manusia itu sendiri. Keadilan akan kemanusiaan yang diinginkan oleh bangsa ini adalah sebuah bentrokan moral yang harus segera ditangani. Berbagai isu sosial dan politik yang terus mendera Indonesia, membuat sebagian bangsa kita semakin tidak percaya dengan para pejabat yang katanya berwenang itu.
Kalau alat-alat pemerintah RI yang memegang tampuk kekuasaan pemerintahan, baik pihak atasan maupun sampai bawahan sudah tidak takut lagi kepada hukuman Allah, yakinlah Negara akan rusak dan hancur dengan sendirinya, sebab segala perbuatan jahat, korupsi, penipuan, suapan dan sebagainya yang terang-terang merugikan Negara, dikerjakan dengan aman oleh mereka itu sendiri, rakyat mengerti sebab rakyat yang menjadi korban” (Petikan kata Wondoamiseno, Sekjen PSSI 1950)
Memaknai bangsa ini cenderung dikolaborasikan dengan cara yang instan, tanpa ada langkah jangka panjang yang mampu memberikan suatu solusi mendasar dan menyeluruh bagi bangsa ini. Sedangkan konteks bangsa ini yang cenderung selalu ingin ada bukti terhadap apa yang telah dijanjikan membuktikan bahwa kita sering menjadi korban pembohongan publik. Sudah saatnya bangsa ini sadar untuk tidak terlalu menggantungkan diri kepada orang lain, dan bergerak untuk hidup lebih mandiri. Hidup lebih mandiri berarti didasari pada karakter seluruh komponen negara dan bangsa ini, bukan hanya sebagian saja. Lingkaran setan dari berbagai sudut pandang telah mengurung peradaban bangsa Indonesia dalam mengembangkan dirinya. Sebuah perubahan, entah dengan cepat atau lambat diperlukan, karena transformasi inilah manusia akan dapat mengubah mindset dan selanjutnya langkah nyata menuju arah yang lebih baik.
Saatnya bangsa ini tidak lagi dibawah ambang-ambang dependensi dengan internal factor maupun eksternal factor, namun menjadi bangsa yang mandiri dengan karakter kebangsaannya. Bangsa ini seharusnya yakin akan kemampuan dirinya, dan terus mengembangkan kemampuannya menuju tujuan terbaiknya. Semoga Allah memberikan yang terbaik bagi bangsa ini, karena bangsa ini bukan saja harus dimaknai dan dihargai, tetapi harus mandiri dalam segala aspek untuk kehidupan Indonesia yang lebih baik.