Monday, May 18, 2009

Tim Indonesia kembali mempersembahkan Emas di APhO X dan ICYS ke-16

2 Emas, 4 Perak dan 2 Perunggu dari APhO X, Thailand


Sesuai dengan prediksi awal sebelum keberangkatan tim, Hendra Kwee, Ph.D. menargetkan perolehan medali minimal 2 medali emas. Ternyata target tersebut terpenuhi dengan merebut 2 Emas, 4 Perak dan 2 Perunggu, bahkan tanpa diduga sebelumnya salah satu anggota tim juga merebut predikat "The best experiment". Dengan demikian seluruh anggota tim APhO X Bangkok, 24 April - 2 Mei 2009 berhasil membawa pulang medali. Terlihat dalam foto dari kiri : Fernaldo Richtia Winnerdy SMAK BPK Penabur Gading Serpong, Banten (Perak); Paul Zakharia Fajar Hanakata SMAN 1 Denpasar, Bali (Perak); Muhammad Sohibul Maromi SMAN 1 Pamekasan, Jawa Timur (Perunggu): Hendra Kwee, Ph.D (Leader); Winson Tanputraman SMAK 1 BPK Penabur, DKI Jakarta (Emas dan "The best experiment"); Kamsul Abraha, Ph.D (Leader); Brigitta Septriani SMA Santu Petrus Pontianak, Kalimantan Barat (Perunggu); Sandoko Kosen SMA Sutomo 1 Medan, Sumatera Utara (Perak); Dzuhri Radityo Utomo SMAN 1 Yogyakarta, DIY (Emas) dan Andri Pradana SMAK 1 BPK Penabur, DKI Jakarta (perak).



Siswa-siswi yang mewakili Indonesia di olimpiade ini dipilih melalui seleksi ketat yang diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Seleksi dilakukan secara berlapis mulai dari level seleksi kabupaten/kota, provinsi, Olimpiade Sains Nasional, dan seleksi 30 besar yang merupakan seleksi tahap akhir. Siswa siswi yang lolos dari proses ini yang memperoleh hak untuk mewakili Indonesia di ajang APhO. Dari hasil APhO ini akan dipilih 5 siswa terbaik untuk mewakili Indonesia di ajang International Physics Olympiad (IPhO) ke-40 yang akan diselenggarakan di Merida, Yucatan, Mexico pada 11 - 19 Juli 2009. Dengan demikian 2 peraih emas sudah merebut kursi, sedangkan 3 kursi sisanya masih diperebutkan oleh 4 siswa peraih medali perak. Direncanakan proses seleksi dilakukan setelah mereka (5 siswa) mengikuti ujian UN susulan. Kelima siswa yang mengikuti ujian susulan UN tanggal 11 Mei - 15 Mei 2009 adalah : Paul, Brigitta, Sandoko, Dzuhri dan Andri. Semua kegiatan Tim Olimpiade Fisika Indonesia mulai dari proses seleksi, pembinaan hingga keberangkatan didanai oleh Departemen Pendidikan Nasional.


APhO tahun ini diselenggarakan dari tanggal 24 April 2009 - 2 Mei 2009. Olimpiade yang sempat dikhawatirkan terganggu oleh hangatnya suhu politik di Thailand terselenggara dengan tanpa gangguan sama sekali. Hampir semua negara yang menyatakan mau ikut di olimpiade akhirnya tetap mengirim tim untuk berkompetisi di APhO ini. Lima belas negara berkompetisi, antara lain: Brunei Darussalam, Sri Lanka, Tajikistan, Thailand, Turkmenistan dan Vietnam.

Mohon doa restu seluruh masyarakat Indonesia, agar tim dapat meraih sukses di IPhO ke-40 di Mexico, walaupun saat ini sedang dilanda flu babi. (www.tofi.or.id)

Subrahmanyan Chandrasekhar

Subrahmanyan Chandrasekhar, peraih nobel Fisika tahun 1983 dilahirkan di Lahore, India pada 19 Oktober 1910. Ayahnya, Chandrasekhara Subrahmanyan Ayyar adalah pegawai di departemen keuangan India. Sementara Ibunya, Sita (neĆ© Balakrishnan) seorang ibu rumah tangga biasa namun berintelektual tinggi (ia mampu menerjemahan karya Henrik Ibsen, “A Doll House” ke bahasa Tamil). Kedua orangtuanya, menurut Chandrasekhar sangat menaruh perhatian pada pendidikan anak-anaknya. Orangtuanyalah yang langsung memberikan pendidikan dasar khusus baginya di rumah hingga ia berusia 12 tahun. Mereka mengharapkan Chandrasekhar terkenal seperti pamannya, Chandrasekhara V. Raman, orang India pertama yang meraih hadiah Nobel fisika. Pada tahun 1918, ayahnya dipindahtugaskan ke Madras dan di sanalah keluarganya kemudian hidup menetap. Di Madras, ia bersekolah di sekolah lanjutan Hindu dari 1922 hingga 1925.

Pendidikan tingginya (1925-30) ia peroleh pertama kali di Presidency College. Kemudian ketika hendak melanjutkan studinya ke Universitas Cambridge, ibunya jatuh sakit. Menurut tradisi India, ia harus tinggal di rumah merawat ibunya. Namun ibunya yang ingin anaknya sukses mendesak Chandra (nama kecil Chandrasekhar) untuk tetap pergi ke Cambridge, Inggris.

Selama perjalanan panjang dengan kapal laut ke Inggris, Chandra mencoba menggabungkan pengetahuannya tentang bintang Bajang putih (white dwarf) dengan teori relativistik spesial, ia terkejut sekali mendapatkan hasil bahwa suatu bintang bajang putih dapat terbentuk melalui evolusi bintang, asalkan massa bintang itu kurang dari 1,45 massa matahari. Jika bintang terlalu berat maka gaya tolak akibat larangan Pauli tidak mampu menahan gaya gravitasi bintang, akibatnya bintang akan kolaps menjadi bintang netron atau bahkan menjadi lubang hitam (black hole).

Tiba di Universitas Cambridge, dengan beasiswa penuh dari pemerintah India, Chandrasekhar menjadi mahasiswa peneliti di bawah bimbingan Profesor R.H. Fowler. Di tengah-tengah kesibukannya, Chandrasekhar masih ingat hasil perhitungannya di kapal laut itu. Ia mencoba menghitung ulang dan mendiskusikannya dengan para fisikawan di Cambridge, ternyata ia mendapatkan hasil yang sama bahwa ada batas atas massa bintang agar dapat berevolusi menjadi bintang bajang putih. Batas atas ini kemudian terkenal dengan nama “Chandrasekhar limit”. Karena hasil penelitian mengenai evolusi bintang inilah, 50 tahun kemudian Chandrasekhar dianugerahi hadiah nobel fisika (1983).

Chandrasekhar sempat menghabiskan tahun ketiga masa kuliahnya di institut fisika teori, Copenhagen atas saran P.A.M. Dirac (pelopor fisika kuantum) yang melihat kemampuannya yang cemerlang. Pada tahun 1933, ia memperoleh gelar Ph.D dari Cambridge. Hanya beberapa bulan berselang, ia bergabung dengan Trinity College hingga tahun 1937. Ketika melakukan kunjungan ke Universitas Harvard, atas undangan Dr. Harlow Shapley selama musim dingin (Januari-Maret 1936), ia ditawari posisi sebagai peneliti di Universitas Chicago dan memutuskan menerima tawaran itu pada Januari 1937. Saat berada di Chicago, iapun melengkapi teorinya dan mempublikasikannya dalam buku An Introduction to the Study of Stellar Structure (1939).

Riset bagi Chandrasekhar memang merupakan kerja berkesinambungan. Ia mencatat ada tujuh periode riset dalam hidupnya. Pertama, teori tentang struktur bintang, termasuk mengenai Bajang Putih (1929-39). Kedua, teori gerak Brownian yang merupakan bagian dari dinamika bintang (1938-43). Ketiga, teori tentang transfer energi, termasuk tentang atmosfer bintang dan teori kuantum ion negatif hidrogen, juga tentang atmosfer bintang (1943-50). Keempat, stabilitas hidrodinamika dan hidromagnetik (1953-61). Kelima, keseimbangan dan stabilitas bentuk elips, bagian dari kolaborasinya dengan Norman R Lebovitz (1961-8). Keenam, teori relativitas umum dan astrofisika relativitas (1962-71). Terakhir, teori matematika Black Holes (1974-83). Hasil penelitiannya itu dipublikasikan dalam berbagai monograf dan jurnal terkenal untuk astrofisika dan fisika..

Pimpinan Universitas Chicago, Hanna Gray pernah mengungkapkan kesannya terhadap Chandrasekhar. Profesor bidang astronomi dan astrofisika ini adalah ilmuwan yang penuh dedikasi, guru dari para guru, seseorang yang senantiasa membaktikan dirinya untuk kreativitas dunia ilmiah.

Disamping fisika, Chandrasekhar juga menyukai bahasa Inggris dan senang membaca karya-karya sastra terkenal tulisan Shakespeare. Orang sangat mengagumi bahasa inggrisnya yang sangat sempurna baik dalam tata bahasa maupun aksennya, sampai-sampai fisikawan terkenal Hans Bethe mengatakan: "Chandrasekhar was one of the great astrophysicists of our time. He was also the greatest master of the English language that I know”.

Isaac Newton

Sir Isaac Newton, FRS (4 January 1643 – 31 March 1727 [OS: 25 December 1642 – 20 March 1727])[1] was an English physicist, mathematician, astronomer, natural philosopher, alchemist, and theologian and one of the most influential men in human history. His PhilosophiƦ Naturalis Principia Mathematica, published in 1687, is considered to be among the most influential books in the history of science, laying the groundwork for most of classical mechanics. In this work, Newton described universal gravitation and the three laws of motion which dominated the scientific view of the physical universe for the next three centuries. Newton showed that the motions of objects on Earth and of celestial bodies are governed by the same set of natural laws by demonstrating the consistency between Kepler's laws of planetary motion and his theory of gravitation, thus removing the last doubts about heliocentrism and advancing the scientific revolution.

In mechanics, Newton enunciated the principles of conservation of both momentum and angular momentum. In optics, he built the first practical reflecting telescope[5] and developed a theory of colour based on the observation that a prism decomposes white light into the many colours which form the visible spectrum. He also formulated an empirical law of cooling and studied the speed of sound.

In mathematics, Newton shares the credit with Gottfried Leibniz for the development of the differential and integral calculus. He also demonstrated the generalised binomial theorem, developed the so-called "Newton's method" for approximating the zeroes of a function, and contributed to the study of power series.

Newton's stature among scientists remains at the very top rank, as demonstrated by a 2005 survey of scientists in Britain's Royal Society asking who had the greater effect on the history of science, Newton or Albert Einstein. Newton was deemed the more influential.[6]

Newton was also highly religious (though unorthodox), producing more work on Biblical hermeneutics than the natural science he is remembered for today.