Tuesday, May 29, 2012

Dependensi versus Independensi Manusia

    Mendengarkan omongan Bang Arief Munandar saat sesi Soft Side Leadership Development UISDP tanggal 13 Mei 2012, saya teringat dengan kata-kata manusia sebagai makhluk sosial. Sebuah sisi Sosialisme secara gamblang dan diantonimkan dengan sisi Individualisme secara luas.
Makhluk sosial merupakan zoon politicon, yang berarti manusia dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dan berinteraksi satu sama lain. -Aristoteles
    Manusia tidak bisa jauh dari realita kehidupan sosial, bahkan konsep manusia sebagai makhluk sosial telah didoktrinkan saat masih tahap pendidikan dasar. Kita mungkin masih ingat bagaimana di pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (pada zaman dahulu namanya PMP dan PPKn), ataupun di pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial. Secara harfiah kata-kata manusia sebagai makhluk sosial adalah mutlak benar, namun seiring perkembangan zaman paradigma manusia sebagai makhluk sosial sering disalahgunakan. Banyak manusia yang menggantungkan dirinya terhadap orang lain. Dan kebanyakan hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan individu dalam mengerjakan sesuatu sehingga menggantungkannya ke orang-orang yang dia anggap mampu.
     Realita yang tengah berkembang di masyarakat dunia, khususnya Indonesia, menyebabkan kebergantungan semakin merajalela. Kebergantungan apabila dihubungkan dengan kehidupan nyata tentu punya berbagai contoh yang menggelikan. Seperti yang terjadi pada kehidupan sosial masyarakat Indonesia, bagaimana orang yang terlanjur miskin "menggantungkan" hidupnya kepada orang lain yang lebih tidak miskin darinya alias meminta-minta. Ini adalah realita umum masyarakat kita, bagaimana kita hanya membiarkan mereka dan hanya bertindak persuasif atau memberi, tanpa melakukan tindakan yang preventif dan solving problem. Padahal jumlah penduduk miskin masih mencapai angka 29,89 juta jiwa atau sekitar 12,36 % (BPS, September 2011). 
      Spesifikasi keadaan inilah yang memicu tingkat dependensi masyarakat yang memunculkan stigma si kaya dan si miskin. Masyarakat Indonesia yang pluralis dan cenderung sentralis, yaitu di satu sisi mengumpul di pulau terpadat di Indonesia, Jawa, sampai-sampai seluruh kekuatan IPOLEKSOSBUDHANKAM (Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya, Pertahanan, dan Keamanan) terpusat di pulau Jawa. Keadaan ini juga memengaruhi dependensi masyarakat luar Jawa terhadap pemerintah pusat. Bahkan hal ini juga memicu dependensi masyarakat pulau Jawa sendiri. Semakin lama, apabila terus dibiarkan, dependensi seperti ini akan sangat menghambat tingkat pembangunan masyarakat. Memang kenyataannya, pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat, bahkan diprediksi negara kita akan masuk pada komunitas G-8. Tetapi pertanyaannya sekarang, apakah kita bangga apabila kita menjadi negara maju, namun rakyat kita masih di bawah bayang-bayang dependensi, bukan independensi?
         Perlu digarisbawahi bahwa independensi bukan merupakan antek-antek individualisme, namun independensi adalah kemampuan menyelesaikan masalah oleh diri sendiri, sampai titik balik penyelesaian masalah tersebut. Apabila menilik lebih lanjut, sesungguhnya kesadaran individu harus benar-benar ditekankan dengan konsisten dan berkesinambungan. Bangsa ini harus proaktif untuk mengubah perspektif negara Indonesia menuju bangsa yang sadar akan dirinya. Indonesia suatu saat bisa menjadi negara maju, tetapi apa pentingnya kemajuan negara tanpa kemajuan pola pikir bangsanya. Kemajuan negara adalah kemajuan segala aspek kebangsaannya. Buktikan bangsa ini bisa, dengan prinsip komitmen, kontributif, dan konsisten.


Hafif Dafiqurrohman
Mesin UI  2011
UISDP 2012

Saturday, May 26, 2012

e-National Character Community (e-NCC)

Indonesia, negara subur makmur, digdaya akan keluasan tanah leluhurnya, kaya akan manusianya yang mencapai peringkat 4 dunia. Potensi sumber daya Indonesia yang sangat luas ternyata membuat negara ini terkena virus paradigma yang “meyesatkan”. Norman K. Denzin membagi paradigma kepada tiga elemen yang meliputi; epistemologi, ontologi, dan metodologi. Epistemologi mempertanyakan tentang bagimana cara kita mengetahui sesuatu, dan apa hubungan antara peneliti denganpengetahuan. Ontologi berkaitan dengan pertanyaan dasar tentang hakikat realitas. Metodologi memfocuskan pada bagaimana cara kita memperoleh pengetahuan. Sedangkan paradigma yang berkembang dalam masyarakat berarti pandangan masyarakat secara umum dan mendasar yang menyeluruh.
Paradigma yang berkembang dalam masyarakat akibat dari proses panjang sejarah setelah kemerdekaan menjadikan jati diri bangsa Indonesia lama-lama semakin memudar. Paradigma sangat berhubungan dengan erat dengan kepribadian dan karakter. Kepribadian adalah respon kita atau biasa disebut etika yang kita tunjukkan ketika berada di tengah-tengah orang banyak, seperti cara berpakaian, berjabat tangan, dan berjalan. Sedangkan Karakter adalah respon kita ketika sedang 'di atas' atau ditinggikan. Apakah kita putus asa, sombong, atau lupa diri. Bentuk respon itulah kita sebut karakter. Namun kepribadian dan karakter berbeda satu sama lain, karena basis dari karakter adalah kepribadian.
Berbagai upaya dilakukan pemerintah maupun NGO (Non-Govermental Organization), memberikan pendidikan karakter dan kepribadian. Namun kebanyakan pendidikan karakter yang disuarakan oleh berbagai instansi terkadang hanya “kulit”nya, atau hanya sekedar menjangkau sebagian orang. Selain itu banyaknya penduduk Indonesia membuat pendidikan karakter yang dicanangkan pemerintah kurang begitu tepat objek maupun subjek. Padahal pendidikan karakter dan kepribadian adalah salah satu cara untuk mengubah bangsa ini untuk kembali ke basisnya.
Kemajuan sistem teknologi informasi internet seharusnya dimanfaatkan sebagai bentuk sistem pendidikan karakter untuk bangsa ini. Bangsa Indonesia satu dekade ini menjadi bangsa yang sangat aktif dalam jejaring sosial. Menduduki peringkat ketiga sebagai negara pengguna jejaring sosial Facebook maupun Twitter. Sebagai negara yang sering menggunakan jejaring sosial, maka kesempatan untuk memeratakan pendidikan karakter dan kepribadian harus segera dibangun melalui teknologi informasi. Selain itu dengan pemerataan secara jangka pendek akan cepat dilakukan, karena sebuah info saja yang diajukan sebagai trending topic dalam jejaring sosial cepat menyebar ke semua pengguna jejarig sosial.
Sistem jangka pendek sangat efektif dilakukan dengan sistem jejaring sosial, karena pengguna jejaring sosial juga lumayan banyak di Indonesia. Untuk sistem jangka panjang adalah tanggung jawab pengguna jejaring sosial yang telah mendapatkan pendidikan karakter dan kepribadian secara online. Mereka harus memberikan dan meyebarkan pendidikan karakter dan kepribadian ke orang sekitarnya. Sehingga integrasi kedua sistem adalah e-NCC (e-National Character Community), sebagai komunitas dalam jejaring sosial pendidikan karakter dan kepribadian Indonesia.
Komunitas ini akan menjangkau seluruh kalangan pengguna jejeraing sosial, karena sekarang para pemuda, mulai dari kalangan atas sampai bawah, banyak yang memakai jasa jejaring sosial. Komunitas ini akan bisa didukung oleh komunitas pengembangan kepemudaan, seperti yang ada di Universitas Indonesia, yaitu Indonesia Leadership Development Program, dan akan diintegrasikan dengan sebuah Leadership Center, sehingga akan tercipta sebuah komunitas yang lebih kuat secara luar dan dalam. Tujuan akhirnya adalah menjadikan Indonesia lebih berpotensi menuju bangsa yang beradab dan bermartabat.

Sunday, May 13, 2012

Bangsa, Dimaknai Atau Dihargai?

"Karakter membangun Bangsa, atau Bangsa membangun Karakter?"
Sebuah kata yang terngiang dengan saksama dan seringkali menghiasi berbagai konteks-konteks masyarakat. Bangsa, muncul dari berbagai macam perspektif dan kondisi. Menerjang keadaan yang fluktuatif menjadi tak karuan, ataukah menjadikan suatu karakter sebagai asas moralnya. Bangsa, menurut John C. Maxwell, sebanding dengan keadaan negaranya "negara akan sepantasnya bangsanya", menyerukan kepada kita semua sebagai kesatuan dari Indonesia. Indonesia tidak akan berkembang apabila niat untuk maju saja tidak ada. Apalagi ada usaha untuk maju, jadi pertanyaannya bagaimana kita bisa mewujudkan Indonesia yang maju? Sebuah paradigma negara berkembang yang terus disuarakan pemerintah adalah sebuah pembodohan publik. Seharusnya bangsa ini jangan diberi sugesti simbolik sebagai negara berkembang terus menerus, apabila secara pembangunan karakternya masih biasa-biasa saja, atau negara ini sudah bingung dengan racun globalisasi. Masihkah kita terlena dengan nafsu Demokrasi yang dibumbui semangat Reformasi. Sudahkah bangsa ini memaknai dirinya sendiri sebagai kesatuan bangsa Indonesia, ataukah meraka menghargai dirinya sebagai salah satu bagian bangsa Indonesia.
Menimbang berbagai keadaan bangsa ini yang tidak menentu, mentasbihkan diri sebagai bangsa dengan sumber daya besar, namun net importir minyak bumi, membuat sebagian kesatuan bangsa menjadi semakin tidak percaya dengan kehidupan politik. Padahal politik adalah suatu alat untuk membangun kehidupan sosial secara luas dan meyeluruh, dan di bawah sosial itu sendiri, terdapat aspek-aspek pembangunan yang lain, seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, sumber daya, dan akan berhubungan dengan individu manusia itu sendiri. Keadilan akan kemanusiaan yang diinginkan oleh bangsa ini adalah sebuah bentrokan moral yang harus segera ditangani. Berbagai isu sosial dan politik yang terus mendera Indonesia, membuat sebagian bangsa kita semakin tidak percaya dengan para pejabat yang katanya berwenang itu.
Kalau alat-alat pemerintah RI yang memegang tampuk kekuasaan pemerintahan, baik pihak atasan maupun sampai bawahan sudah tidak takut lagi kepada hukuman Allah, yakinlah Negara akan rusak dan hancur dengan sendirinya, sebab segala perbuatan jahat, korupsi, penipuan, suapan dan sebagainya yang terang-terang merugikan Negara, dikerjakan dengan aman oleh mereka itu sendiri, rakyat mengerti sebab rakyat yang menjadi korban” (Petikan kata Wondoamiseno, Sekjen PSSI 1950)
Memaknai bangsa ini cenderung dikolaborasikan dengan cara yang instan, tanpa ada langkah jangka panjang yang mampu memberikan suatu solusi mendasar dan menyeluruh bagi bangsa ini. Sedangkan konteks bangsa ini yang cenderung selalu ingin ada bukti terhadap apa yang telah dijanjikan membuktikan bahwa kita sering menjadi korban pembohongan publik. Sudah saatnya bangsa ini sadar untuk tidak terlalu menggantungkan diri kepada orang lain, dan bergerak untuk hidup lebih mandiri. Hidup lebih mandiri berarti didasari pada karakter seluruh komponen negara dan bangsa ini, bukan hanya sebagian saja. Lingkaran setan dari berbagai sudut pandang telah mengurung peradaban bangsa Indonesia dalam mengembangkan dirinya. Sebuah perubahan, entah dengan cepat atau lambat diperlukan, karena transformasi inilah manusia akan dapat mengubah mindset dan selanjutnya langkah nyata menuju arah yang lebih baik.
Saatnya bangsa ini tidak lagi dibawah ambang-ambang dependensi dengan internal factor maupun eksternal factor, namun menjadi bangsa yang mandiri dengan karakter kebangsaannya. Bangsa ini seharusnya yakin akan kemampuan dirinya, dan terus mengembangkan kemampuannya menuju tujuan terbaiknya. Semoga Allah memberikan yang terbaik bagi bangsa ini, karena bangsa ini bukan saja harus dimaknai dan dihargai, tetapi harus mandiri dalam segala aspek untuk kehidupan Indonesia yang lebih baik.

Friday, May 4, 2012

Nasionalisme, Aku atau INDONESIA?


“Kita cinta damai, tetapi kita lebih cinta KEMERDEKAAN.”-Ir. Soekarno

Kalimat yang berasal dari pidato Bung Karno saat peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan INDONESIA tahun 1946, di mana INDONESIA baru satu tahun merdeka,  menggertak bangsa dengan satu kalimat, Merdeka. Kemerdekaan yang bukan semata-mata secara normatif dan fiktif, namun kemerdekaan akan semua aspek kehidupan bangsa ini, bangsa INDONESIA. Tanah air kita yang luas menghampar, dengan ribuan pulau, ratusan juta manusia, dan berbagai jenis sumber daya, laksana zamrud di permukaan bumi. Tetapi mengapa INDONESIA yang katanya “negara berkembang”, masih belum berkembang-kembang juga? Tidak akan jauh dari kata sakral, Nasionalisme.
Hanya satu kata yang simpel, namun bukan sekedar simbol belaka. Bangsa ini seakan kehilangan nasionalismenya setelah “perang” kemerdekaan berakhir. KITA, sebagai bangsa INDONESIA terasa bersemangat untuk menikmati kemerdekaan ini. Dan memang INDONESIA telah merdeka secara de facto dan de jure, tetapi secara aspek kehidupan bangsa, kita masih terjajah. Bahkan karakter bangsa –sebagai esensi dari bangsa, sekarang ini ikut terjajah dan terbuang, hilang entah ke mana. Padahal karakter adalah dasar dari nasionalisme, dan nasionalisme adalah kekuatan besar untuk memajukan bangsa ini.
Berbicara nasionalisme, kata ini bukan sekedar kata normatif yang menghiasi telinga ketika upacara bendera, atau ketika mengikuti suatu program kepemimpinan. Tetapi nasionalisme merupakan suatu paradigma yang harus diresapi sepenuh hati oleh seluruh bangsa INDONESIA, dan tidak hanya diresapi, namun harus diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Seorang manusia INDONESIA, tidak hanya sekedar tahu apa itu makna nasionalisme, tetapi mewujudkan langkah-langkah nasionalisnya sebagai bangsa INDONESIA. Perwujudan yang tidak sekedar janji palsu, tetapi bukti nyata yang bangsa INDONESIA bisa merasakan manfaatnya.
Nasionalisme tidak mengenal tempat, waktu, atau keadaan-keadaan lain, namun nasionalisme harus selalu terimplementasi dalam setiap langkah kehidupan kita. Kita, sebagai bangsa INDONESIA seharusnya malu kepada diri sendiri apabila kita telah puas akan hasil perjuangan para pahlawan dulu –baca kemerdekaan. Kita juga tidak patut hidup dengan bersenang-senang dan hedonis padahal dahulu pahlawan telah berjuang sampai berani mengorbankan nyawanya demi kemerdekaan INDONESIA. Namun kenyataan saat ini sungguh sangat ironis dengan sejarah masa lalu, melayangkan sebuah tamparan besar terhadap era reformasi ini –yang katanya INDONESIA akan semakin maju.
Nasionalisme ditransformasikan dari hal kecil menuju hal yang besar, menuju waktu yang semakin habis ditelan zaman. Bangsa ini yang cenderung hidup berlebih-lebihan atau kekurang-kurangan, mengindikasikan ketidakseimbangan dalam kehidupannya. Sebuah evolusi yang mampu mengubah secara transformatif dan berkesinambungan diperlukan untuk INDONESIA. Melalui sebuah quote, “hidup boleh sederhana, namun pikiran tidak boleh sederhana.”, bangsa ini perlu kontribusi yang nyata, dengan komitmen yang tegas, dan konsisten bagi yang menjalankan –baca, kita semua, sehingga tercapainya suatu keseimbangan , yaitu antara Nasionalisme dan karakter bangsa.
Abad 21 mungkin dianggap sebagai abad globalisasi, saatnya bangsa ini mempertahankan karakternya. Nasionalisme bukan sekedar langkah konkrit pengabdian, namun nasionalisme juga adalah sikap yang harus terbawa sampai mati. Ibarat manusia punya indera, maka indera keenam kita adalah nasionalisme. Akan kita bawa terus dan kita manfaatkan, kita pelihara dengan selalu mengamalkannya dalam kehidupan kita.
“Hilangkan eksistensi, terapkan komitmen, kontribusi, dan konsistensi bagi ibu pertiwi.”

Hafif Dafiqurrohman
Teknik Mesin/Fakultas Teknik UI
Peserta UI Student Development Program 2012