Mendengarkan omongan Bang Arief Munandar saat sesi Soft Side Leadership Development UISDP tanggal 13 Mei 2012, saya teringat dengan kata-kata manusia sebagai makhluk sosial. Sebuah sisi Sosialisme secara gamblang dan diantonimkan dengan sisi Individualisme secara luas.
Realita yang tengah berkembang di masyarakat dunia, khususnya Indonesia, menyebabkan kebergantungan semakin merajalela. Kebergantungan apabila dihubungkan dengan kehidupan nyata tentu punya berbagai contoh yang menggelikan. Seperti yang terjadi pada kehidupan sosial masyarakat Indonesia, bagaimana orang yang terlanjur miskin "menggantungkan" hidupnya kepada orang lain yang lebih tidak miskin darinya alias meminta-minta. Ini adalah realita umum masyarakat kita, bagaimana kita hanya membiarkan mereka dan hanya bertindak persuasif atau memberi, tanpa melakukan tindakan yang preventif dan solving problem. Padahal jumlah penduduk miskin masih mencapai angka 29,89 juta jiwa atau sekitar 12,36 % (BPS, September 2011).
Spesifikasi keadaan inilah yang memicu tingkat dependensi masyarakat yang memunculkan stigma si kaya dan si miskin. Masyarakat Indonesia yang pluralis dan cenderung sentralis, yaitu di satu sisi mengumpul di pulau terpadat di Indonesia, Jawa, sampai-sampai seluruh kekuatan IPOLEKSOSBUDHANKAM (Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya, Pertahanan, dan Keamanan) terpusat di pulau Jawa. Keadaan ini juga memengaruhi dependensi masyarakat luar Jawa terhadap pemerintah pusat. Bahkan hal ini juga memicu dependensi masyarakat pulau Jawa sendiri. Semakin lama, apabila terus dibiarkan, dependensi seperti ini akan sangat menghambat tingkat pembangunan masyarakat. Memang kenyataannya, pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat, bahkan diprediksi negara kita akan masuk pada komunitas G-8. Tetapi pertanyaannya sekarang, apakah kita bangga apabila kita menjadi negara maju, namun rakyat kita masih di bawah bayang-bayang dependensi, bukan independensi?
Perlu digarisbawahi bahwa independensi bukan merupakan antek-antek individualisme, namun independensi adalah kemampuan menyelesaikan masalah oleh diri sendiri, sampai titik balik penyelesaian masalah tersebut. Apabila menilik lebih lanjut, sesungguhnya kesadaran individu harus benar-benar ditekankan dengan konsisten dan berkesinambungan. Bangsa ini harus proaktif untuk mengubah perspektif negara Indonesia menuju bangsa yang sadar akan dirinya. Indonesia suatu saat bisa menjadi negara maju, tetapi apa pentingnya kemajuan negara tanpa kemajuan pola pikir bangsanya. Kemajuan negara adalah kemajuan segala aspek kebangsaannya. Buktikan bangsa ini bisa, dengan prinsip komitmen, kontributif, dan konsisten.
Makhluk sosial merupakan zoon politicon, yang berarti manusia dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dan berinteraksi satu sama lain. -AristotelesManusia tidak bisa jauh dari realita kehidupan sosial, bahkan konsep manusia sebagai makhluk sosial telah didoktrinkan saat masih tahap pendidikan dasar. Kita mungkin masih ingat bagaimana di pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (pada zaman dahulu namanya PMP dan PPKn), ataupun di pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial. Secara harfiah kata-kata manusia sebagai makhluk sosial adalah mutlak benar, namun seiring perkembangan zaman paradigma manusia sebagai makhluk sosial sering disalahgunakan. Banyak manusia yang menggantungkan dirinya terhadap orang lain. Dan kebanyakan hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan individu dalam mengerjakan sesuatu sehingga menggantungkannya ke orang-orang yang dia anggap mampu.
Realita yang tengah berkembang di masyarakat dunia, khususnya Indonesia, menyebabkan kebergantungan semakin merajalela. Kebergantungan apabila dihubungkan dengan kehidupan nyata tentu punya berbagai contoh yang menggelikan. Seperti yang terjadi pada kehidupan sosial masyarakat Indonesia, bagaimana orang yang terlanjur miskin "menggantungkan" hidupnya kepada orang lain yang lebih tidak miskin darinya alias meminta-minta. Ini adalah realita umum masyarakat kita, bagaimana kita hanya membiarkan mereka dan hanya bertindak persuasif atau memberi, tanpa melakukan tindakan yang preventif dan solving problem. Padahal jumlah penduduk miskin masih mencapai angka 29,89 juta jiwa atau sekitar 12,36 % (BPS, September 2011).
Spesifikasi keadaan inilah yang memicu tingkat dependensi masyarakat yang memunculkan stigma si kaya dan si miskin. Masyarakat Indonesia yang pluralis dan cenderung sentralis, yaitu di satu sisi mengumpul di pulau terpadat di Indonesia, Jawa, sampai-sampai seluruh kekuatan IPOLEKSOSBUDHANKAM (Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya, Pertahanan, dan Keamanan) terpusat di pulau Jawa. Keadaan ini juga memengaruhi dependensi masyarakat luar Jawa terhadap pemerintah pusat. Bahkan hal ini juga memicu dependensi masyarakat pulau Jawa sendiri. Semakin lama, apabila terus dibiarkan, dependensi seperti ini akan sangat menghambat tingkat pembangunan masyarakat. Memang kenyataannya, pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat, bahkan diprediksi negara kita akan masuk pada komunitas G-8. Tetapi pertanyaannya sekarang, apakah kita bangga apabila kita menjadi negara maju, namun rakyat kita masih di bawah bayang-bayang dependensi, bukan independensi?
Perlu digarisbawahi bahwa independensi bukan merupakan antek-antek individualisme, namun independensi adalah kemampuan menyelesaikan masalah oleh diri sendiri, sampai titik balik penyelesaian masalah tersebut. Apabila menilik lebih lanjut, sesungguhnya kesadaran individu harus benar-benar ditekankan dengan konsisten dan berkesinambungan. Bangsa ini harus proaktif untuk mengubah perspektif negara Indonesia menuju bangsa yang sadar akan dirinya. Indonesia suatu saat bisa menjadi negara maju, tetapi apa pentingnya kemajuan negara tanpa kemajuan pola pikir bangsanya. Kemajuan negara adalah kemajuan segala aspek kebangsaannya. Buktikan bangsa ini bisa, dengan prinsip komitmen, kontributif, dan konsisten.
Hafif Dafiqurrohman
Mesin UI 2011
UISDP 2012